Kala itu, di jembatan dekat sungai.
Dan kita yang dulu bertemu ketika sedang berjalan dengan arah yang berlawanan.
Ku melihat ke arahmu.
Pandanganku jatuh di antara kedua matamu.
Mataku yang memperhatikanmu lebih lama.
Bahkan detik pun terasa lebih cepat dari biasanya hingga mataku tertangkap basah olehmu.
Kau tersenyum, senyuman yang sangat manis diantara senyum yang kau berikan padaku.
Entah kenapa rona wajahku tiba-tiba keluar begitu saja.
Aku malu.
Bahkan setelah melewatimu, rona itu masih ada.
Setelah jarak sejauh 3 meter berada diantara kita, kau memanggil dan berlari ke arahku untuk mengucapkan sebuah janji.
Janji untuk menikmati senja di tahun 2012 berdua denganku.
Senja di tahun 2012.
Senja yang di kala itu ku nikmati setiap detiknya bersamamu.
Bahkan sepertinya tak ada satupun yang terlewatkan oleh kita.
Kau tersenyum diantara matahari terbenam.
Cahaya berwarna jingga menghiasi senyum milikmu.
Siluet wajahmu terlihat begitu jelas di depan mataku.
Bahkan hanya dengan siluet itu, aku jatuh cinta kepadamu.
Aku bersyukur kita dapat bertemu di jembatan dekat sungai itu.
Aku sangat mensyukuri setiap detik ketika bersamamu.
Aku mengingat setiap detailnya dan tak ada yang terlewatkan.
Bahkan, sampai saat ini memori itu masih tersimpan dengan baik.
Dan ku harap sampai saat ini kau juga mengingatnya.
Semoga saja.
Jakarta, 30 Agustus 2015
23.03 WIB
Minggu, 30 Agustus 2015
Kamis, 13 Agustus 2015
Bapak dan Rokok.
2 cangkir yang berada di nampan ini, ku bawa dari dapur ke teras depan rumah.
Sudah ada yang menunggu kehadiranku disana.
Dia.
Sesampainya disana, ku sunggingkan senyum terbaikku pada lelaki yang sangat ku cintai ini. Sampai ku rela memberi apapun untuknya.
"Ini kopinya. Kopi hitam dengan sedikit gula kan pak?" tanyaku padanya.
Ya, dia memang bapakku. Lelaki yang selama ini ku cintai. Tidak berkurang sedikit pun dari dulu hingga sekarang.
"Makasih ya. Lah, yang teh buat siapa de?"
Dede. Sapaan orang rumah kepadaku.
"Yang teh ya buat aku pak. Aku mau minumnya bareng bapak disini. Kayaknya enak."
Dia hanya tersenyum tidak membalas.
Dihesapnya kopi buatanku dari bibir cangkir. Sambil menutup mata. Sedap sekali.
Beberapa menit kemudian, dikeluarkannya kotak itu dari saku kemejanya.
Sebuah bungkus rokok yang sudah terdapat gambar slogan yang membuatku ngilu.
Entahlah, walaupun begitu dia tetap saja merokok. Tidak diperdulikannya slogan itu.
Lalu kopi dan rokok. Seolah-olah memang perpaduan yang pas untuk dinikmati di sore hari.
Dibakarnya ujung rokok itu. Mengubah warna tembakaunya menjadi kemerahan karena terbakar.
Ku ambil kotaknya. Mungkin masih ada beberapa batang lagi.
"Pak, aku mau satu ya rokoknya. Aku mau coba."
Entah darimana nyali untuk mengatakan itu. Kali ini aku mengatakannya dengan mudah.
Dia terkejut. Ya, tentu saja dia pasti terkejut.
Lalu ia membulatkan matanya dengan sorot tajam ke arahku.
"Jangan de. Kamu gak boleh ngerokok!" bentaknya.
Jujur saja aku sedikit takut. Tapi aku tetap dengan pendirianku.
Direbut kembali kotak itu.
"Kenapa gak boleh? Aku kan sama seperti bapak. Manusia juga. Ya cuma beda kelaminnya aja. Masa cuma karena itu, aku gaboleh ngerokok. Apa bedanya?"
"Enggak. Kamu tetap gaboleh!"
"Gaboleh kenapa? Aku heran sama bapak. Kenapa bapak boleh sedangkan aku tidak. Padahal sudah ada slogan yang tertera disitu. Aku tuh mau bapak sehat. Biar jauh dari rokok. Kalo bapak ngerokok, jadi aku mau ikut ngerokok juga. Biar aku ngerasain apa yang bapak rasain."
Dia tertegun. Bahkan melihatku saja tidak mau. Dilihatnya perkarangan rumah kami dengan mata kosong.
Pada akhirnya dia melihat ke arahku lagi.
"Jadi kamu maunya apa?" tanyanya.
"Berhenti ngerokok. Bisa?"
Dia terlihat berpikir lalu tersenyum. Aku bahkan tidak tega melihatnya seperti ini.
Dibuangnya rokok yang berada di bibirnya.
Bukan hanya rokok. Kotak rokoknya pun juga dibuang.
"Apapun untuk kamu, bapak akan lakukan. Tetapi jika kamu sampai ikut merokok cuma karena ini, bapak tidak rela."
Aku tersenyum penuh arti. Dia ingin sehat demi aku. Dia ingin membuang kebiasaannya demi aku. Dia juga ingin aku tetap sehat.
Ku rengkuh badan yang sudah menandakan usianya kini sudah tidak muda.
Bahkan aku tidak tega jika badannya ku peluk lebih dalam. Aku takut melukai dirinya.
Semoga dirimu sehat selalu pak. Semoga aku bisa lebih lama bersamamu. Aamiin. In shaa Allah.
Jakarta, 13 Agustus 2015
03.44 WIB
*gak jelas gitu sih postingan yang ini. Tapi ya intinya gitu.
Sudah ada yang menunggu kehadiranku disana.
Dia.
Sesampainya disana, ku sunggingkan senyum terbaikku pada lelaki yang sangat ku cintai ini. Sampai ku rela memberi apapun untuknya.
"Ini kopinya. Kopi hitam dengan sedikit gula kan pak?" tanyaku padanya.
Ya, dia memang bapakku. Lelaki yang selama ini ku cintai. Tidak berkurang sedikit pun dari dulu hingga sekarang.
"Makasih ya. Lah, yang teh buat siapa de?"
Dede. Sapaan orang rumah kepadaku.
"Yang teh ya buat aku pak. Aku mau minumnya bareng bapak disini. Kayaknya enak."
Dia hanya tersenyum tidak membalas.
Dihesapnya kopi buatanku dari bibir cangkir. Sambil menutup mata. Sedap sekali.
Beberapa menit kemudian, dikeluarkannya kotak itu dari saku kemejanya.
Sebuah bungkus rokok yang sudah terdapat gambar slogan yang membuatku ngilu.
Entahlah, walaupun begitu dia tetap saja merokok. Tidak diperdulikannya slogan itu.
Lalu kopi dan rokok. Seolah-olah memang perpaduan yang pas untuk dinikmati di sore hari.
Dibakarnya ujung rokok itu. Mengubah warna tembakaunya menjadi kemerahan karena terbakar.
Ku ambil kotaknya. Mungkin masih ada beberapa batang lagi.
"Pak, aku mau satu ya rokoknya. Aku mau coba."
Entah darimana nyali untuk mengatakan itu. Kali ini aku mengatakannya dengan mudah.
Dia terkejut. Ya, tentu saja dia pasti terkejut.
Lalu ia membulatkan matanya dengan sorot tajam ke arahku.
"Jangan de. Kamu gak boleh ngerokok!" bentaknya.
Jujur saja aku sedikit takut. Tapi aku tetap dengan pendirianku.
Direbut kembali kotak itu.
"Kenapa gak boleh? Aku kan sama seperti bapak. Manusia juga. Ya cuma beda kelaminnya aja. Masa cuma karena itu, aku gaboleh ngerokok. Apa bedanya?"
"Enggak. Kamu tetap gaboleh!"
"Gaboleh kenapa? Aku heran sama bapak. Kenapa bapak boleh sedangkan aku tidak. Padahal sudah ada slogan yang tertera disitu. Aku tuh mau bapak sehat. Biar jauh dari rokok. Kalo bapak ngerokok, jadi aku mau ikut ngerokok juga. Biar aku ngerasain apa yang bapak rasain."
Dia tertegun. Bahkan melihatku saja tidak mau. Dilihatnya perkarangan rumah kami dengan mata kosong.
Pada akhirnya dia melihat ke arahku lagi.
"Jadi kamu maunya apa?" tanyanya.
"Berhenti ngerokok. Bisa?"
Dia terlihat berpikir lalu tersenyum. Aku bahkan tidak tega melihatnya seperti ini.
Dibuangnya rokok yang berada di bibirnya.
Bukan hanya rokok. Kotak rokoknya pun juga dibuang.
"Apapun untuk kamu, bapak akan lakukan. Tetapi jika kamu sampai ikut merokok cuma karena ini, bapak tidak rela."
Aku tersenyum penuh arti. Dia ingin sehat demi aku. Dia ingin membuang kebiasaannya demi aku. Dia juga ingin aku tetap sehat.
Ku rengkuh badan yang sudah menandakan usianya kini sudah tidak muda.
Bahkan aku tidak tega jika badannya ku peluk lebih dalam. Aku takut melukai dirinya.
Semoga dirimu sehat selalu pak. Semoga aku bisa lebih lama bersamamu. Aamiin. In shaa Allah.
Jakarta, 13 Agustus 2015
03.44 WIB
*gak jelas gitu sih postingan yang ini. Tapi ya intinya gitu.
Senin, 10 Agustus 2015
Akan Ikhlas
Istighfar.
Mungkin hanya itu yang bisa kuucapkan berkali-kali.
Yang membuat perasaan itu sedikit mereda.
Jika memang sudah saatnya untuk diikhlaskan, aku akan ikhlas.
Sangat ikhlas.
In shaa Allah.
Tetapi entahlah, kenapa sangat sulit.
Jika diingat lagi sudah setahun,
tetapi sampai sekarang masih belum sepenuhnya yakin dan percaya itu.
Yang ini bukanlah perkara yang mudah dilupakan.
Setiap mengingatnya, putaran memori itu akan terulang lagi.
Lagi dan lagi. Setiap waktu.
Dan itu sangat menyiksa.
Mungkin selama ini aku kurang ibadah.
Sehingga perasaan itu masih ada.
Masih terganjal dalam hati.
Semoga aku masih didalam perlindungan-Nya.
Aamiin.
Ya Rabbal alamin.
Jakarta, 10 Agustus 2015
15.01 WIB
Mungkin hanya itu yang bisa kuucapkan berkali-kali.
Yang membuat perasaan itu sedikit mereda.
Jika memang sudah saatnya untuk diikhlaskan, aku akan ikhlas.
Sangat ikhlas.
In shaa Allah.
Tetapi entahlah, kenapa sangat sulit.
Jika diingat lagi sudah setahun,
tetapi sampai sekarang masih belum sepenuhnya yakin dan percaya itu.
Yang ini bukanlah perkara yang mudah dilupakan.
Setiap mengingatnya, putaran memori itu akan terulang lagi.
Lagi dan lagi. Setiap waktu.
Dan itu sangat menyiksa.
Mungkin selama ini aku kurang ibadah.
Sehingga perasaan itu masih ada.
Masih terganjal dalam hati.
Semoga aku masih didalam perlindungan-Nya.
Aamiin.
Ya Rabbal alamin.
Jakarta, 10 Agustus 2015
15.01 WIB
Senin, 03 Agustus 2015
Daun
Ketika dedaunan di pohon menggambarkan rasa yang ku pendam selama ini kepadamu, kini dedaunan itu telah berguguran tertiup oleh angin yang berlalu.
Satu persatu telah jatuh ke tanah hanya menyisakan kekeringan yang mengubahnya menjadi cokelat dan lama-lama akan hancur.
Tetapi kan kusimpan satu untukmu yang akan gugur lebih lama. Mungkin saat ini belum gugur. Mungkin esok, lusa, atau entahlah kapan. Walaupun begitu, rasa itu akan tetap ada, tidak terlihat tetapi akan tetap selalu di hati.
Jakarta, 3 Juli 2015
09.53 WIB
Satu persatu telah jatuh ke tanah hanya menyisakan kekeringan yang mengubahnya menjadi cokelat dan lama-lama akan hancur.
Tetapi kan kusimpan satu untukmu yang akan gugur lebih lama. Mungkin saat ini belum gugur. Mungkin esok, lusa, atau entahlah kapan. Walaupun begitu, rasa itu akan tetap ada, tidak terlihat tetapi akan tetap selalu di hati.
Jakarta, 3 Juli 2015
09.53 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)