Minggu, 30 Agustus 2015

Senja di tahun 2012.

Kala itu, di jembatan dekat sungai.
Dan kita yang dulu bertemu ketika sedang berjalan dengan arah yang berlawanan.
Ku melihat ke arahmu.

Pandanganku jatuh di antara kedua matamu.
Mataku yang memperhatikanmu lebih lama.
Bahkan detik pun terasa lebih cepat dari biasanya hingga mataku tertangkap basah olehmu.

Kau tersenyum, senyuman yang sangat manis diantara senyum yang kau berikan padaku.
Entah kenapa rona wajahku tiba-tiba keluar begitu saja.

Aku malu.

Bahkan setelah melewatimu, rona itu masih ada.
Setelah jarak sejauh 3 meter berada diantara kita, kau memanggil dan berlari ke arahku untuk mengucapkan sebuah janji.

Janji untuk menikmati senja di tahun 2012 berdua denganku.

Senja di tahun 2012.

Senja yang di kala itu ku nikmati setiap detiknya bersamamu.
Bahkan sepertinya tak ada satupun yang terlewatkan oleh kita.

Kau tersenyum diantara matahari terbenam.
Cahaya berwarna jingga menghiasi senyum milikmu.
Siluet wajahmu terlihat begitu jelas di depan mataku.

Bahkan hanya dengan siluet itu, aku jatuh cinta kepadamu.

Aku bersyukur kita dapat bertemu di jembatan dekat sungai itu.
Aku sangat mensyukuri setiap detik ketika bersamamu.

Aku mengingat setiap detailnya dan tak ada yang terlewatkan.
Bahkan, sampai saat ini memori itu masih tersimpan dengan baik.

Dan ku harap sampai saat ini kau juga mengingatnya.
Semoga saja.


Jakarta, 30 Agustus 2015
23.03 WIB

Kamis, 13 Agustus 2015

Bapak dan Rokok.

2 cangkir yang berada di nampan ini, ku bawa dari dapur ke teras depan rumah.

Sudah ada yang menunggu kehadiranku disana.

Dia.

Sesampainya disana, ku sunggingkan senyum terbaikku pada lelaki yang sangat ku cintai ini. Sampai ku rela memberi apapun untuknya.

"Ini kopinya. Kopi hitam dengan sedikit gula kan pak?" tanyaku padanya.

Ya, dia memang bapakku. Lelaki yang selama ini ku cintai. Tidak berkurang sedikit pun dari dulu hingga sekarang.

"Makasih ya. Lah, yang teh buat siapa de?"

Dede. Sapaan orang rumah kepadaku.

"Yang teh ya buat aku pak. Aku mau minumnya bareng bapak disini. Kayaknya enak."

Dia hanya tersenyum tidak membalas.

Dihesapnya kopi buatanku dari bibir cangkir. Sambil menutup mata. Sedap sekali.

Beberapa menit kemudian, dikeluarkannya kotak itu dari saku kemejanya.

Sebuah bungkus rokok yang sudah terdapat gambar slogan yang membuatku ngilu.

Entahlah, walaupun begitu dia tetap saja merokok. Tidak diperdulikannya slogan itu.

Lalu kopi dan rokok. Seolah-olah memang perpaduan yang pas untuk dinikmati di sore hari.

Dibakarnya ujung rokok itu. Mengubah warna tembakaunya menjadi kemerahan karena terbakar.

Ku ambil kotaknya. Mungkin masih ada beberapa batang lagi.

"Pak, aku mau satu ya rokoknya. Aku mau coba."

Entah darimana nyali untuk mengatakan itu. Kali ini aku mengatakannya dengan mudah.

Dia terkejut. Ya, tentu saja dia pasti terkejut.

Lalu ia membulatkan matanya dengan sorot tajam ke arahku.

"Jangan de. Kamu gak boleh ngerokok!" bentaknya.

Jujur saja aku sedikit takut. Tapi aku tetap dengan pendirianku.

Direbut kembali kotak itu.

"Kenapa gak boleh? Aku kan sama seperti bapak. Manusia juga. Ya cuma beda kelaminnya aja. Masa cuma karena itu, aku gaboleh ngerokok. Apa bedanya?"

"Enggak. Kamu tetap gaboleh!"

"Gaboleh kenapa? Aku heran sama bapak. Kenapa bapak boleh sedangkan aku tidak. Padahal sudah ada slogan yang tertera disitu. Aku tuh mau bapak sehat. Biar jauh dari rokok. Kalo bapak ngerokok, jadi aku mau ikut ngerokok juga. Biar aku ngerasain apa yang bapak rasain."

Dia tertegun. Bahkan melihatku saja tidak mau. Dilihatnya perkarangan rumah kami dengan mata kosong.

Pada akhirnya dia melihat ke arahku lagi.

"Jadi kamu maunya apa?" tanyanya.

"Berhenti ngerokok. Bisa?"

Dia terlihat berpikir lalu tersenyum. Aku bahkan tidak tega melihatnya seperti ini.

Dibuangnya rokok yang berada di bibirnya.

Bukan hanya rokok. Kotak rokoknya pun juga dibuang.

"Apapun untuk kamu, bapak akan lakukan. Tetapi jika kamu sampai ikut merokok cuma karena ini, bapak tidak rela."

Aku tersenyum penuh arti. Dia ingin sehat demi aku. Dia ingin membuang kebiasaannya demi aku. Dia juga ingin aku tetap sehat.

Ku rengkuh badan yang sudah menandakan usianya kini sudah tidak muda.

Bahkan aku tidak tega jika badannya ku peluk lebih dalam. Aku takut melukai dirinya.

Semoga dirimu sehat selalu pak. Semoga aku bisa lebih lama bersamamu. Aamiin. In shaa Allah.


Jakarta, 13 Agustus 2015
03.44 WIB


*gak jelas gitu sih postingan yang ini. Tapi ya intinya gitu.

Senin, 10 Agustus 2015

Akan Ikhlas

Istighfar.
Mungkin hanya itu yang bisa kuucapkan berkali-kali.
Yang membuat perasaan itu sedikit mereda.

Jika memang sudah saatnya untuk diikhlaskan, aku akan ikhlas.
Sangat ikhlas.
In shaa Allah.

Tetapi entahlah, kenapa sangat sulit.
Jika diingat lagi sudah setahun,
tetapi sampai sekarang masih belum sepenuhnya yakin dan percaya itu.

Yang ini bukanlah perkara yang mudah dilupakan.
Setiap mengingatnya, putaran memori itu akan terulang lagi.
Lagi dan lagi. Setiap waktu.
Dan itu sangat menyiksa.

Mungkin selama ini aku kurang ibadah.
Sehingga perasaan itu masih ada.
Masih terganjal dalam hati.

Semoga aku masih didalam perlindungan-Nya.
Aamiin.
Ya Rabbal alamin.


Jakarta, 10 Agustus 2015
15.01 WIB

Senin, 03 Agustus 2015

Daun

Ketika dedaunan di pohon menggambarkan rasa yang ku pendam selama ini kepadamu, kini dedaunan itu telah berguguran tertiup oleh angin yang berlalu.

Satu persatu telah jatuh ke tanah hanya menyisakan kekeringan yang mengubahnya menjadi cokelat dan lama-lama akan hancur.

Tetapi kan kusimpan satu untukmu yang akan gugur lebih lama. Mungkin saat ini belum gugur. Mungkin esok, lusa, atau entahlah kapan. Walaupun begitu, rasa itu akan tetap ada, tidak terlihat tetapi akan tetap selalu di hati.


Jakarta, 3 Juli 2015
09.53 WIB

Jumat, 31 Juli 2015

Fav's Story : Teman

Dihempaskan badannya di sandaran tempat duduknya kini. Di dalam busway. Peluh keringat yang sudah mengalir dari tadi sudah dihapus dengan tisue yang tersimpan di dalam tas kecilnya.

Menunggu kedatangan busway yang menuju rumahnya memang sangat memakan waktu. Kurang lebih setengah jam, yang ditunggunya baru datang.

Seperti biasa, setiap minggunya ia selalu ke perpustakaan umum yang berada di tengah kota. Membaca beberapa buku yang menurutnya bisa mengusir pikiran yang selama ini menganggunya.

Dilihat notifikasi ponselnya yang beberapa jam lalu ia abaikan.

Ada beberapa pesan masuk dan beberapa notif socmed yang terpajang. Tetapi hanya satu yang menarik perhatiannya. Ada satu panggilan tidak terjawab dari seseorang yang sudah lama tidak bertemu.

Dia tersenyum.
Nanti akan di telepon jika sudah dirumah. Pikirnya.

Di halte selanjutnya ada ibu-ibu paruh baya yang masuk ke dalam bus. Tidak ada tempat duduk yang kosong lagi.

Ia pun mencolek lengan sang ibu, bermaksud menawarkan tempat duduk. Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih dengan lembut.

Setelah melemparkan senyum simpulnya kepada ibu tersebut, dia pun bersandar sambil berdiri di kaca jendela busway, melihat jalanan yang di laluinya.

Dipakainya earphone yang disimpan di dalam tasnya. Mendengarkan beberapa lagu mungkin dapat mengusir kebosanannya.

Beberapa lagu yang mengalir lembut di dengarnya dengan perasaan tenang. Tenang seperti di perpustakaan ketika ia sedang membaca beberapa buku.

Mulai dari penyanyi solo sampai ke penyanyi grup seperti mocca dan ten2five, mereka mengeluarkan lagu-lagu dengan melodi sendu.

Sendu dari lagu itu seolah-olah menghantar ke dalam hatinya.

Hatinya mulai bergetar.

Entah karena efek lagunya atau rindu yang teramat dalam pada seseorang yang sudah lama ingin di temuinya, perlahan-lahan di kaca busway terlihat bayangan orang itu.

Lelaki itu. Lelaki yang dicintainya tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Lelaki yang selama ini membuat tidurnya nyenyak dengan mimpi indah. Yang membuat makannya tidak teratur karena memikirkannya.

Lelaki yang baru dikenalnya beberapa bulan tetapi sudah membuat dirinya tertawa ketika bernyanyi dan tersenyum ketika tidur.

Lelaki itu tersenyum ke arahnya.

Bayangan lelaki itu masih di kaca jendela. Tetapi entah kenapa seperti nyata.

Lengkung senyumnya, garis wajahnya, rambutnya.

Tidak ingin terlalu membayangkan lelaki itu, ia pun menggelengkan kepala. Ingin menghapus bayangan lelaki itu.

Satu halte lagi. Ia akan turun untuk transit busway yang dinaikinya untuk pindah jurusan.

Ia pun bersiap siap. Merapihkan rambutnya dan memasukkan earphone yang tadi di pakainya ke dalam tas. Lalu bergeser sedikit ke depan pintu.

Pintu busway terbuka, ia pun keluar dari busway.

Halte yang dipakai untuk transit ini memang banyak pengunjungnya. Ada beberapa tujuan yang berbeda.

Ia jalan dengan terburu-buru untuk mengejar busway yang menuju ke arah rumahnya. Tetapi belum sempat terkejar, ia menubruk seseorang.

"Maaf. Maaf. Aku tidak sengaja."

Hanya itu yang diucapkannya. Badannya berjalan mundur 2 langkah.

Tetapi ia masih mengingat parfume yang dipakai orang itu. Baunya seperti dia.

Tubuhnya terpaku. Tidak bisa untuk digerakkan sedikit pun.

Benar saja. Itu dia.

Lelaki itu.

Lelaki yang tersenyum padanya di bayangan kaca busway.

"Brian."

Lelaki itu tersenyum.

"Aku hubungi kamu tidak di jawab. Tetapi setelah kerumahmu, mbak Ati bilang kamu di perpustakaan kota. Aku bermaksud menyusulmu, tetapi bertemu disini hehe."

Tawanya masih sama seperti yang ia dengar terakhir kali mereka bertemu.

Ia sangat merindukan lelaki itu.

Ia ingin memeluknya, tetapi ia tahan karena ini tempat umum. Lagipula tidak lucu jika ia bukan siapa-siapa tapi memeluk lelaki itu tiba-tiba.

"Ayo kita pulang. Mobilku kutinggalkan dirumahmu." ajakan sang lelaki.

Wanita itu tersenyum. Ia tidak akan menolaknya. Sama sekali tidak ada niatan untuk menghindarinya.

Lelah yang dirasakan tadi tiba-tiba hilang setelah melihat lelaki itu.

"Ya."

Lalu lelaki itu mengaitkan jari jemarinya pada tangan mungil si wanita. Mereka akan pulang bersama.

Berjalan beriringan bersama layaknya sepasang kekasih. Tetapi pada kenyataannya mereka hanyalah teman.

Tetapi keduanya berharap semoga mereka bukan hanya berteman, mungkin mereka akan menjalin ke suatu hubungan yang lebih serius.

Semoga saja.

Karena suatu hubungan yang baik adalah berawal dari pertemanan. Karena di dalam pertemanan kita bisa mengenal satu sama lain.


"Aku senang dapat mengenalmu. Tidak pernah terpikir jika aku menyesalinya. Semoga kau pun juga begitu. Dan semoga pertemuan kita di waktu itu bukanlah suatu yang kebetulan. Aku harap begitu."


Fabrian&Fabella


Jakarta, 31 Juli 2015
01.56 WIB 

Jumat, 24 Juli 2015

Menata Kehidupanmu.

Memang, tanganku tidak seperti mereka.
Bukanlah tangan yang halus dan putih.
Tanganku kasar dan gelap.

Tetapi, tangan ini yang nantinya akan mengancingi kemejamu.
Menata dasimu.
Dan memakaikanmu jas.

Tangan ini yang nantinya akan menggenggam tanganmu.
Mengaitkan tangan kirimu.
Merangkul bahumu.

Tangan ini yang nanti akan menangkupkan wajahmu ketika air mata sudah tidak terbendung.
Yang akan memelukmu ketika emosi sudah tidak terkontrol.
Yang akan memegang tanganmu dengan erat disaat semangat sudah mulai surut.

Tangan ini juga yang menata kehidupanmu untuk lebih indah.
Bukan hanya kehidupanmu saja.
Kamu juga akan melengkapi kehidupanku untuk lebih indah.

Kamu yang nantinya akan mengisi hariku.
Menjadi lebih berwarna.
Dan kita akan menghadapinya bersama.

Untuk kamu, disana.
Aku menunggumu.
Kedatanganmu.

Semoga kau kembali.



Bekasi, 24 Juli 2015
00:48 WIB

Selasa, 21 Juli 2015

Selamat Tinggal.

Cobalah bersabar seperti dulu.
Karena ia takkan kemana-mana.
Mungkin memang hanya masalah waktu.
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Cobalah tidak terlalu acuh seperti dulu.
Karena ia tetap akan mengirimkan pesan.
Mungkin hanya pesan singkat.
Tetapi bisa mengobati kerinduan.

Cobalah tidak terlalu berharap seperti dulu.
Karena ia takkan memperhatikan.
Mungkin hanya orang lain.
Orang lain yang selalu dikagumi.

Cobalah pendam seperti dulu.
Karena ia tetap menganggapmu teman.
Mungkin memang cuma teman.
Tetapi bisa jadi teman hidup. In shaa Allah.

Dari dulu memang selalu sama.
Tidak lebih dan tidak kurang.
Selalu seperti itu.
Konsisten.

Cobalah berkelana melihat wajah-wajah baru.
Mungkin, sudah saatnya untuk berpindah ke lain hati.
Pindah untuk indah.
Indah untuk diri sendiri dan dia. 

Memang sudah saatnya.
Saatnya untuk pergi.
Ucapkan selamat tinggal.
Selamat tinggal untuk hati dan juga sang pujaan. 

Selamat tinggal.
Untuk kamu.
Sang pujaan hati.




Bekasi, 21 Juli 2015 01:40